Perasaan Baru dari Halte


Mendung. Mentari bersembunyi di balik awan tebal, sebentar lagi hujan akan turun. Laju sepeda motor semakin cepat tak peduli orang yang ingin menyebrang. Para pejalan kaki bergegas menuju rumah masing-masing, agar tak basah kuyup kehujanan. Orang-orang sibuk. Larut dalam pekerjaan masing-masing. Para pegawai muda tanggung di kantor-kantor duduk santai di ruangan kerja mereka, tanpa peduli hujan akan turun, mengobrol tanpa tema. Kadang masalah pribadi, masalah tetangga, bahkan sampai masalah istri orang lain. Para pedagang kaki lima mulai berbenah merapikan dagangan mereka, beberapa menutup kios, ada juga yang hanya memasang terpal di sekitar kios berharap hujan turun dan orang-orang berteduh, lalu membeli dagangannya.
Hujan pun akhirnya turun. Walau hanya sekedar gerimis. Jatuh lembut membasahi bumi, menebar berkah. Kegiatan di jalanan pun berhenti seketika. Orang-orang berlari kecil mencari tempat berteduh yang nyaman . Sebagian diantara mereka ada yang mengosokan telapak tangannya yang kedinginan. Ada juga yang memanfaatkan waktu untuk beristirahat sejenak dari jenuhnya aktifitas harian yang cukup padat. Aku duduk termenung sembari berteduh di halte, bersebrangan dengan sebuah rumah sakit ternama di kota. Aku melirik jam Tangan yang kuletakkan di dalam saku bajuku.
“masih jam sebelas ternyata” gumamku.
Sebenarnya banyak yang hal yang ingin aku kerjakan, namun semua itu hanya sekedar ada di benakku. Saat hujan ini suasana di sekitar halte tempat berteduhku, rumah sakit masih ramai, ramai dengan suara kendaraan yang kini sedang terjebak macet.
“halo bang, sekarang dingin yaa ... ? ” Suara yang cukup riang.
Seorang anak kecil menyapaku ramah sambil bertanya yang menurutku pertanyaan ini cukup aneh, ketika hari hujan dan jelas-jelas aku sedang bersidekap menahan dingin masihkah kelihatan aku sedang kepanasan. Tapi aku mengerti tentulah dia hanya sekedar berbasa-basi, agar lebih terlihat akrab dan bersahabat. Aku menoleh sebentar memperhatikan anak yang menyapaku barusan. Baju merah yang terlihat pudar serta celana bahan sebetis, rambutnya yang lurus jatuh rapi di atas alisnya yang terlihat tipis. Dahi cukup lebar, namun tertutupi oleh rambutnya, dari raut wajahnya memang terlihat bersahabat.
“menurutmu bagaimana ?, abang sekarang kedinginan atau nggak ?” jawabku sambil tersenyum.
“yah ko’ bertanya lagi, kan saya yang duluan nanya …. !!” jawabnya heran sambil mengerutkan keningnya yang mengkilat-kilat berminyak. Anak yang satu ini memang berbeda menurutku, tak ada yang istimewa dari segi penampilannya, bisa dikatakan lusuh. Namun jangan salah, suara dan mimiknya berbicara mengisyaratkan bahwa anak ini berbeda.
“terserah kamu deh, nogomong-ngomong nama kamu siapa ya ?” kalimat ini meluncur deras dari mulutku tanpa kusadari, jujur saja aku orangnya agak tertutup dan kurang bersosialisasi. Buktinya, mulai dari lingkungan rumah ku, hanya ada 3 teman dekatku di rumah. Pertama, laptop usang yang telah setia 4 tahun bertualang menemaniku di sunyinya kehidupan. Dulu aku membelinya dari kenalan facebook, cukup dengan harga tiga juta-an. Kedua, buku-buku yang berjejer rapi di rak. Jangan di tanya soal buku kepadaku, setiap minggu aku selalu menamatkan minimal 3 buku. Terserah bukunya apa, mulai dari buku IPTEK atau sejarah termasuk novel. Akibatnya semenjak aku hobi membaca , setiap minggu selalu membeli buku, jadi informasi yang kudapatkan selalu up-date. Yang Terakhir tentunya orang tua yang selalu merawat dan membesarkanku dari kecil.
“O iya, kenalkan nama saya Ardan, Ardan Syah Tamam. Kalo abang ?”
“Mmmmm, panggil aja abang Revdo . Kalo kepanjangannya  Achmad Revdo. Keren kan !”
“Biasa aja abang ……... Mmmm, Sekarang abang lagi kuliah dimana ?”
Aku tersentak , aneh. Baru sekali ini aku menemukan anak jalanan yang bertanya kepadaku tentang perkuliahan. Memang baru sekali ini ada anak jalanan yang berbincang denganku, tapi ini sungguh aneh. Dia ingin membahas sesuatu yang jarang anak seperti dia memikirkanya.
“Emangnya kenapa ? ko’ nanya tentang kuliah ?” aku mencoba memancing Kenapa ia bertanya seperti itu.
“Enggak penting sih …., tapi menurutku kuliah itu keren lho. Coba tanya kenapa !!” kali ini dia yang ingin membuatku penasaran
“terserah deh, emangnya kenapa …. ?” aku mengalah, mungkin karena aku yang kepo.
Banyak sebenarnya hal yang harus ku kerjakan saat ini. Mulai dari mengirim surat titipan dari kawan kost-ku, mengembalikan pakaian kawan yang kupinjam saat acara malam minggu di kampus kemarin, juga mengkondisikan panitia persiapan acara seminar bulan depan. Tapi setelah aku berbincang dengan anak jalanan yang satu ini, aku jadi tertarik. Bukan apa-apa, tapi menurutku ini jauh lebih asyik.
“Dulu aku pernah bermimpi bang ! aku ingin bersekolah di tempat yang keren, bersih dan seru, terserah dimana aja yang penting seru. Habis itu bisa punya kawan yang banyak dan gaul bang! Terus bias bermain sama mereka, bisa jalan-jalan sama mereka, enggak kayak sekarang, di jalan terus. Emang sih jalan-jalan terus tapi ya ngerti sendiri ajalah bang !”
Memang banyak anak jalanan yang sangat menginginkan sekolah, tapi menurutku jarang diantara mereka yang berani mengungkapkannya. Anak ini telah mengungkapkanya padaku walaupun kami baru saja bertemu dan berkenalan beberapa saat lalu.
“Tapi kenapa ya bang, mungkin memang nasib. Tapi ya bagaimana lagi, harus dijalani dulu. Nanti akan terasa mudah kok, kalau gak salah namanya tawakkal, berusaha sebaik mungkin nanti urusan endingnya sama Yang diatas” ucapnya sambil tersenyum menatap langit takzim. Tangannya mengepal lembut namun terlihat tegas. Biasalah kalau lagi khidmat, semua orang juga begitu pikirku.
“Nah itu dia …. Itu dia yang mau abang bilang ! TAWAKKAL, menyerahkan semua pekerjaan kita, keluh kesah kita, problema kita kepada Allah. Tapi ya harus kerja keras juga.” Jawabku riang. Dia menatapku lalu tersenyum setelah mendengar kalimatku barusan.
“Nih abang kasih kata bijak ! dulu guru abang pernah bilang do’a tanpa usaha sama aja bohong, nah kalau usaha tanpa do’a itu namanya sombong” ujarku paham menirukan gaya guruku sebatas yang ku ingat.
Hujan terasa mulai reda, rintik hujan memang masih terdengar namun tidak sejelas tadi. Terlihat para pejalan kaki yang berteduh di kios-kios satu persatu sudah meninggalkanya, mungkin sebagian diantara mereka ada yang memiliki keperluan mendesak sehingga mereka pun tampak terburu-buru, berlari kecil menembus rintik-rintik hujan yang sudah mereda.
Terlihat beberapa anak melambaikan tangannya ke arahku. Aku hanya senyum kecut menanggapi mereka, namun ternyata aku sadar mereka memanggil Ardan yang duduk disebelahku. Dia juga membalas lambaian tangan mereka sambil berdiri, lalu mengangguk kepadaku. Aku membalasnya dengan anggukan mantap sambil tersenyum.
“Senang berkenalan dengan abang !” diapun berlari meninggalkanku.
Sejenakku merenung, diam mencari jawaban. Apakah ada diantara mereka semua yang mempunyai niat tulus seperti ardan tadi. Bahkan akupun belajar dari dia bahwa mereka bukan orang sembarangan, bahkan orang yang bersekolah ditempat yang diinginkanya pun tak akan mampu menandingi sifat niatnya yang tulus itu.
Aku pun beranjak dari tempat hangat yang menyadarkanku akan kesempatan yang kini kudapatkan. Semoga saja tawakkal-mu di terima di sisinya.









Komentar